Technopreneurship: Trend Solusi Bisnis Masa Kini
Lucia D. Krisnawati, MA
Lucia D. Krisnawati, MA
Beberapa tahun terakhir ini, istilah teknoprenuership kerap sekali kita jumpai dan dengar di berbagai media baik media cetak maupun media elektronik. Buku-buku yang menggunakan istilah ini sebagai bagian dari judulnyapun sudah banyak bermunculan. Bahkan, ada beberapa universitas yang mulai menawarkan technoprenuership sebagai program studi dan membuka program master. Salah satu universitas di Asia yang menawarkan Master Degree Program in Technopreneurship adalah Universitas Teknologi Nanyang (Nanyang Technological University – NTU) Singapura. NTU bahkan memiliki pusat studi khusus untuk bidang ini yang dikenal dengan nama Nanyang Technopreneurship Center (NTC).
Apakah Technopreneurship Itu?
Ditilik dari asal katanya, Technopreneurship merupakan istilah bentukan dari dua kata, yakni ‘teknologi’ dan ‘enterpreneurship’. Secara umum, kata Teknologi digunakan untuk merujuk pada penerapan praktis ilmu pengetahuan ke dunia industri atau sebagai kerangka pengetahuan yang digunakan untuk menciptakan alat-alat, untuk mengembangkan keahlian dan mengekstraksi materi guna memecahkan persoalan yang ada. Sedangkan kata entrepreneurship berasal dari kata entrepreneur yang merujuk pada seseorang atau agen yang menciptakan bisnis/usaha dengan keberanian menanggung resiko dan ketidakpastian untuk mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang yang ada (Zimmerer & Scarborough, 2008).
Jika kedua kata diatas digabungkan, maka kata teknologi disini mengalami penyempitan arti, karena Teknologi dalam “technopreneurship” mengacu pada Teknologi Informasi, yakni teknologi yang menggunakan Komputer sebagai alat pemrosesan. Posadas (2007) mendefinisikan istilah technopreneurship dalam cakupan yang lebih luas, yakni sebagai wirausaha di bidang teknologi yang mencakup teknologi semikonduktor sampai ke asesoris Komputer Pribadi (PC). Sebagai contoh adalah bagaimana Steven Wozniak dan Steve Job mengembangkan hobi mereka hingga mereka mampu merakit dan menjual 50 komputer Apple yang pertama, atau juga bagaimana Larry Page dan Sergey Brin mengembangkan karya mereka yang kemudian dikenal sebagai mesin pencari Google. Mereka inilah yang disebut sebagai para teknopreneur dalam definisi ini.
Dalam wacana nasional, istilah Technopreneurship lebih mengacu pada pemanfaatan Teknologi informasi untuk pengembangan wirausaha. Berbeda dengan pengertian pertama diatas, jenis wirausaha dalam pengertian technopreneurship disini tidak dibatasi pada wirausaha teknologi informasi, namun segala jenis usaha, seperti usaha meubel, restaurant, super market ataupun kerajinan tangan, batik dan perak. Penggunaan teknologi informasi yang dimaksudkan disini adalah pemakaian Internet untuk memasarkan produk mereka seperti dalam perdagangan online (e-Commerce), pemanfaatan Perangkat Lunak khusus untuk memotong biaya produksi, atau pemanfaatan teknologi web 2.0 sebagai sarana iklan untuk wirausaha. Dalam pengertian kedua ini, tidaklah jelas pihak mana yang bisa disebut sebagai technopreneur. Disini, kedua pengertian ini akan digunakan bersama-sama.
Technopreneurship di Asia
Jika kita menengok ke 2 -3 dekade yang lalu, maka sebut saja Taiwan, Korea Selatan dan Singapura masih digolongkan sebagai Negara Berkembang. Namun sekarang Negara-negara ini telah menjadi Negara maju dengan perekonomian yang didasarkan pada Industri teknologi. Perkembangan Korea diawali dengan industri tradisional kemudian diikuti oleh industri semikonduktor. Sedangkan Singapura memiliki kontrak di bidang elektronik dengan perusahaan-perusahaan barat kemudian diikuti juga oleh manufaktur semikonduktor. Taiwan terkenal dengan industri asesoris Komputer Pribadi (PC). Rahasia lain yang membuat perkembangan negara-negara ini melejit adalah adanya inovasi.
Inovasi di bidang Teknologi Informasi inilah yang juga membuat India berkembang dan menjadi incaran industri dunia barat baik bagi outsourcing maupun penanaman modal. Contoh teknologi yang dikembangkan oleh India adalah sebuah Handheld PC yang disebut sebagai Simputer. Simputer dikembangkan untuk pengguna pemula dan dari sisi finansial adalah pengguna kelas menengah bawah. Simputer dijalankan oleh prosesor berbasis ARM yang murah dan menggunakan Sistem Operasi berbasis opensource. Harga di pasaran adalah sekitar $200.
Inovasi India yang luar biasa datang dari perusahaan Shyam Telelink Ltd. Shyam Telelink memperlengkapi becak dengan telefon CDMA yang berkekuatan 175 baterai. Becak inipun diperlengkapi juga dengan mesin pembayaran otomatis. Penumpang becak bisa menelpon dan tariff yang dikenakan adalah sekitar 1.2 rupee per 20 menit. Lalu perusahaan ini mempekerjakan orang yang tidak memiliki keahlian untuk mnegemudikan becak. Upah para pengemudi becak tidak didasarkan pada gaji yang tetap namun merupakan komisi sebesar 20% dari tiap tarif telfon yang diperoleh (Wireless week, 2003).
Di Filipina, perusahaan telefon SMART mengembangkan metode untuk melayani transfer pengiriman uang dari para pekerja Filipina yang diluar negeri melalui telefon seluler dengan SMS. Menurut laporan Asian Development Bank (ADB), SMART dapat meraup sekitar US $14 – 21 trilyun per tahunnya dari biaya transfer program ini.
China mengikuti jejak yang sama. Perusahaan-perusahaan China mulai menunjukkan kiprahnya di dunia internasional. Akuisisi IBM oleh perusahaan China Lenovo di tahun 2004 dan akuisisi perusahaan televisi Perancis Thomson oleh Guangdong membuktikan bahwa technoprenuership di China semakin kukuh.
Studi Posadas menunjukkan bahwa technopreneurship di Asia berkembang disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, faktor inovasi yang diinsiprasikan oleh Silicon Valley. Jika revolusi industri Amerika di abad 20 yang lalu dipicu oleh inovasi yang tiada henti dari Silicon valley, maka negara-negara Asia berlomba untuk membangun Silicon Valley mereka sendiri dengan karakteristik dan lokalitas yang mereka miliki.
Kedua, Inovasi yang dibuat tersebut diarahkan untuk melepaskan diri dari ketergantungan dunia barat. Sebagian besar teknologi yang diciptakan oleh dunia barat diperuntukkan bagi kalangan atas atau orang/instansi/perusahaan yang kaya dan menciptakan ketergantungan pemakaiannya. Sementara itu sebagian besar masyarakat (baca pasar) Asia belum mampu memenuhi kriteria pasar teknologi barat tersebut. Masih banyak masyarakat asia yang memiliki penghasilan dibawah $1 per hari, sehingga mereka tidak memiliki akses ke teknologi yang diciptakan oleh dunia barat. Ini merupakan peluang yang besar bagi para teknopreneur untuk berinovasi dalam menciptakan sebuah produk teknologi yang menjangkau masyarakat marginal.
Arah technopreneurship di Indonesia
Sebagian besar wacana di negara kita mengarahkan Technopreneurship seperti dalam definisi kedua di atas. Baik dalam seminar, lokakarya dan berita, maka bisa dijumpai bahwa pemakaian teknologi Informasi dapat menunjang usaha bisnis. Terlebih dimasa krisis global seperti sekarang ini, maka peluang berbisnis lewat Internet semakin digembar-gemborkan. Ada kepercayaan bahwa Technopreneurship menjadi solusi bisnis dimasa lesu seperti ini. Sebagai contoh, penggunaan Perangkat Lunak tertentu akan mengurangi biaya produksi bagi perusahaan Meubel. Jika sebelumnya, mereka harus membuat prototype dengan membuat kursi sebagai sample dan mengirimkan sample tersebut, maka dengan pemakaian Perangkat Lunak tertentu, maka perusahaan tersebut tidak perlu mengirimkan sample kursi ke pelanggan, namun hanya menunjukkan desain kursi dalam bentuk soft-copy saja. Asumsi ini tidak memperhitungkan harga lisensi software yang harus dibeli oleh perusahaan meubel tersebut.
Jika technopreneurship dipahami seperti dalam contoh-contoh ini, maka kondisi ini menyisakan beberapa pertanyaan: Apakah benar technopreneurship mampu menjadi solusi bisnis di masa kini? Akan dibawa kemanakah arah technoprenership di negara kita? Menurut hemat penulis, technopreneurship yang dipahamai dalam makna yang sesempit ini justru akan menjadi bumerang bagi pelaku bisnis, karena ini akan menciptakan ketergantungan terhadap teknologi buatan barat. Dan ini tidak sejalan dengan semangat technopreneurship yang dikembangkan oleh negara-negara Asia lainnya. Selain itu, inovasi yang berkembang belum mampu melepas ketergantungan tersebut karena masih berskala individu, seperti inovasi dan kreatifitas dalam pembangunan website, penggunaan teknologi web 2.0 sebagai media promosi. Inovasi yang diharapkan adalah inovasi dalam pengembangan kapasitas lokal dengan basis teknologi dari dunia barat, sehingga hasil inovasi tersebut mampu melepaskan kita dari kungkungan ketergantungan penggunaan lisensi dan ketergantungan teknologi barat.
Untuk dapat menuju ke arah yang sama seperti neagara-negara tetangga kita lainnya, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan dekonstruksi pemahaman Technopreneurship. Ini penting sekali karena kita semua tahu bahwa persepsi menentukan aksi. Dengan pemahaman technopreneurship seperti dalam definisi pertama maka akan memungkinkan bermunculannya para technopreneurship sejati yang akan membawa negara kita berjalan bersama-sama dengan India, Korea Selatan maupun taiwan.
Sumber:
Dana, L.P. (2007). Asian Models of Entrepreneurship from Indian Union and the Kingdom of Nepal to the Japanese Archipelago: Context, Policy, and Practice. New Jersey: World Scientific Publishing Co.
saya sangat tertarik dengan teknopreurship,sebab bahan research saya tentang itu,mohon pencerahan dan model2 apa yang digunakan ,
BalasHapusterima sakih